Literasi - Mitos Keteraturan Dalam Kampus
Literasi - Mitos Keteraturan Dalam Kampus
Penulis : Andi Achmad Fauzi Rafsanjani
Tidak terasa masa aktif perkuliahan telah memasuki pekan ke-lima, namun sampai sekarang saya baru berbincang-bincang dengan satu orang mahasiswa baru. Ini bukan karena saya yang menutup diri kepada mereka, akan tetapi ini adalah dampak dari lokasi perkuliahan kami yang berbeda. Maklum, kampus kami memiliki dua lokasi. Mahasiswa tua kuliahnya di kampus satu (Tamalanrea), sementara mahasiswa baru kebanyakan kuliah di kampus dua (Moncong Loe).
Ada banyak spekulasi yang bermunculan terkait dengan pemisahan lokasi perkuliahan antara mahasiswa lama dan mahasiswa baru. Ada yang beranggapan bahwa ini terjadi karena gedung kampus satu yang tidak bisa memuat seluruh mahasiswa. Namun ada juga yang beranggapan bahwa ini adalah salah satu strategi pemangku kepentingan kampus dalam memangkas dan mendegradasi nilai-nilai yang ada di dalam lembaga kemahasiswaan, karena faktor jarak akan menjadi penghalang untuk berkomunikasi intens. Namun yang harus kita tahu bahwa jarak ini yang justru menjadi pendorong kerinduan seorang senior untuk menemui juniornya.
Satu jam lebih dekat dengan mahasiswa baru telah menggugah keprihatinan saya kepada mereka dan lembaga kemahasiswaan. Ketika saya menanyakan tentang sumpah mahasiswa kepada sang adek, dia tidak mengetahui hal tersebut dengan alasan senior tidak pernah mengajarkan dan juga sumpah itu tidak dilantunkan ketika masa Pengenalan Kehiudpan Kampus Mahasiswa Baru (PKKMB). Selanjutnya adalah ketika saya menanyakan tentang wacana kemahasiswaan dalam hal ini sejarah pergerakan mahasiswa dan peran mahasiswa dalam masyarakat, sang adek kembali menjawab tidak tahu. Dan masih banyak keprihatinan saya yang terlalu perih untuk diungkapkan.
“Tidak ada hal yang begitu saja ada, yang sesungguhnya muncul adalah di-ada-kan”, seperti itulah yang dikatakan oleh Edward Said dalam bukunya yang berjudul Orientalism[1]. Jika mengacu pada ungkapan Edward, maka seperti itu pula fenomena yang terjadi di kampus dimana mahasiswa baru tidak mengenal tentang sumpah mahasiswa, sejarah pergerakan mahasiswa hingga peran mahasiswa.Fenomena ini bukanlah sesuatu yang alami, akan tetapi ia adalah hasil konstruksi sebuah sistem.
Pelaksanaan PKKMB yang baru-baru saja dilaksanakan oleh pihak kampus, secara langsung telah mengurangi keterlibatan lembaga kemahasiswaan. Hal ini dibuktikan dari sikap birokrasi kampus yang langsung menunjuk panitia tanpa melalui komunikasi dengan fungsionaris lembaga kemahasiswaan. Selain itu, dalam pelaksanaanya lembaga kemahasiswaan sisa menerima konsep yang telah disusun oleh birokrasi. Hal yang paling menggelikan adalah adanya pelarangan mengikrarkan sumpah mahasiswa karena sumpah mahasiswa dianggap sebagai sumpah pemuda yang diplesetkan.
Bagi beberapa kalangan mahasiswa, pelarangan sumpah mahasiswa adalah bagian dari upaya pemangku kepentingan kampus dalam memangkas culture yang ada di dalam lembaga kemahasiswaan sehingga hal ini menjauhkan mahasiswa baru dari wacana kemahasiswaan. Bukan hanya itu saja, pelarangan ini telah menutup ruang atau akses mahasiswa baru untuk mengenali sejarahnya sehingga mahasiswa baru belum mengenal peran dan fungsinya. Apalagi tidak bisa kita pungkiri bahwa sumpah mahasiswa dan romantisme 98 adalah suatu hal yang bisa membangkitkan spirit mahasiswa untuk mendobrak kemapanan yang diekspresikan dalam berbagai bentuk.
Teori fungsionalisme struktural menyatakan bahwa masyarakat dipandang sebagai suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen yang saling berkaitan dan menyatu dalam keseimbangan[2]. Pada titik ini, sivitas akademika yakni dosen, mahasiswa dan stakeholder lainnya dipandang sebagai satu kesatuan yang saling fungsional satu sama lain sehingga titik tekannya pada keseimbangan. Jika ada satu struktur yang tidak fungsional, maka akan mempengaruhi struktur yang lain atau struktur yang tidak fungsional tersebut akan mengikut dengan sendirinya terhadap struktur yang lain.
Karena kehidupan yang ada di dalam kampus harus senantiasa ada dalam keteraturan, maka dari itu pemangku kepentingan perlu mengambil langkah untuk mewujudkan keteraturan tersebut melalaui aturan-aturan dimana mahasiswa yang menjadi objeknya. Hal ini bisa kita lihat dari pelaksanaan akademik yang begitu padat (pukul 07.30-17.00 WITA). Pelaksanaan akademik yang begitu padat telah menyita perhatian mahasiswa untuk berfokus pada akademik saja, mahasiswa disibukkan dengan berbagai tugas sehingga mahasiswa jauh dari realitas kampus. Hasilnya mahasiswa tidak mengetahui masalah-masalah yang ada baik masalah kampus maupun masalah publik sehingga kesadaran kritis mahasiswa menjadi tumpul.
Lembaga kemahasiswaan semakin tidak beradaya manakala peraturan yang mengharuskan lembaga kemahasiswaan melakuan proses kaderisasi di semester dua telah menemui kemapanannya. Kebijakan ini mulai diberlakukan di tahun 2012 sampai dengan sekarang dengan dalil bahwa selama semester satu, mahasiswa baru harus berfokus pada akademik. Tentu ini bukanlah alasan yang rasional mengingat bahwa selama seseorang menjadi mahasiswa, sudah menjadi kewajiban untuk berfokus pada akademik, bukan hanya pada semester satu saja.
Foucault berpendapat bahwa kekuasaan beroperasi tidak dengan cara menekan, koersif, intimidatif dan menindas, melainkan secara halus dan sulit terprediksi karena selain tidak nampak, juga tidak disadari memengaruhi dan mengendalikan sampai ke tingkat praktis seseorang[3]. Langkah inilah yang ditempuh oleh pemangku kepentingan kampus dalam memangkas pergerakan lembaga kemahasiswaan melalui pelarangan pengkaderan di semester satu. Menunda jadwal pengkaderan selama satu semester telah memperpendek waktu mahasiswa baru untuk berkenalan dengan lembaga kemahasiswaan. Mahasiswa baru hanya memiliki kesempatan mempelajari nilai-nilai organisasi selama enam bulan hingga mereka dii daulat sebagai pengurus teras. Pada titik inilah kemudian terjadi degradasi nilai sehingga secara perlahan orientasi gerakan lembaga kemahasiswaan mengalami penurunan secara perlahan.
Siklus kehidupan yang seperti demikianlah yang dianggap sebagai keteraturan sebagaimana yang dijelaskan pada teori fungsionalisme struktural sehingga setiap kebijakan atau aturan yang dikeluarkan oleh pemangku kepentingan kampus, maka struktur yang lain dalam hal ini lembaga kemahasiswaan berkewajiban untuk mengikuti. Jika lembaga kemahasiswaan menolak patuh terhadap kebijakan tersebut maka mitos deviant (dianggap pemberontak) akan menguak di permukaan sehingga sanksi secara personal maupun kelembagaan adalah suatu keabsahan untuk dilayangkan.
*) Penulis pernah berhikmad sebagai Ketua Umum HMA-PNUP periode 2016/2017. Sekarang aktif di Lingkar Mahasiswa Islam Untuk Perubahan (LISAN) Komisariat PNUP
Belum ada Komentar untuk "Literasi - Mitos Keteraturan Dalam Kampus"
Posting Komentar