Kajian Kebudayaan "Balo Lippa Sabbe: Menyulam Kejujuran dalam Harmoni Budaya"
Balo Lippa Sabbe: Menyulam Kejujuran dalam Harmoni Budaya
Kejujuran merupakan pondasi utama dalam membangun harmoni di tengah keberagaman masyarakat. Filosofi Balo Lippa Sabbe dari budaya Bugis hadir sebagai simbol kearifan lokal yang mengajarkan pentingnya keterbukaan hati, keadilan, dan tanggung jawab. Melalui tema di atas, saya harap kita semua diingatkan akan peran nilai-nilai luhur ini dalam menciptakan kehidupan yang selaras, menjaga hubungan antarindividu, dan memperkuat identitas budaya di era modern ini.
Hampir semua suku di dunia ini memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam membuat sebuah kain untuk kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Entah itu untuk sandang, pangan, atau papan. Nah, menenun adalah salah satu cara untuk membuat kain. Menenun sendiri membutuhkan keterampilan yang tinggi, keuletan, ketabahan, dan kesabaran. Maka dari itu, menenun cocok untuk para wanita. Hal ini pun menjadi tradisi bahwa para pengrajin tenun atau penenun senantiasa dikerjakan oleh kaum perempuan, baik remaja, dewasa, hingga ibu rumah tangga.
Suku Bugis, terutama pada Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, menganggap menenun ini bukan hanyalah sebagai mata pencaharian saja, tetapi menjadi cara berkomunikasi dengan leluhur. Pada masa lampau, sarung sutera Bugis atau Lippa Sabbe Bugis dianggap sebagai bahan sandang sekaligus menjadi pelengkap budaya Sulawesi Selatan, pakaian sehari-hari, dan kelengkapan upacara yang bersifat sakral.
Bahan sandang pada masa lampau tidak pernah lepas dari fungsinya sebagai pelengkap kebutuhan budaya. Balo Lippa Sabbe merupakan bagian yang melekat pada permukaan sarung sebagai sebuah wujud fisik suatu kebudayaan. Melalui corak (Balo), sarung sutera (Lippa Sabbe) ini menggambarkan suatu sistem budaya serta tata sosial masyarakat penenunnya. Corak Lippa Sabbe sendiri memiliki hubungan yang erat dengan dinamika kebudayaan masyarakat Bugis.
Menurut Melallatoa (dalam Faisal, 2014: 31), menjelaskan bahwa keterampilan menenun merupakan pengetahuan budaya yang diwariskan secara turun temurun. Erat dengan aspek keindahan, upacara adat, religi, dan simbol status sosial seseorang atau suatu kelompok dalam masyarakat. Motif-motif yang ada dalam kain sutera merupakan simbol yang mengandung makna yang bermanfaat bagi kedudukan, kebahagiaan, dan keselamatan bagi para pemakainya.
Keterampilan inilah yang dimiliki oleh seseorang khususnya dalam menenun merupakan salah satu wujud kearifan lokal. Hirdayanti (2018: 4), menyatakan bahwa Nilai Kearifan Lokal merupakan wujud nilai dalam seseorang maupun kelompok masyarakat yang tercermin dalam menjalani aktivitas kesehariannya.
Kearifan lokal itu merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal, tetapi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal.
Tradisi menenun dalam masyarakat Bugis Wajo merupakan wujud kearifan lokal yang kelestariannya masih tetap terjaga hingga saat ini. Nilai-nilai lokal masyarakat tercermin mulai dari proses mengolah benang sutera sampai pada teknik menenun (Mattennung). Nah, menenun sarung sutera ini membutuhkan dua hal, yaitu pola pengetahuan dan keterampilan yang memadai.
Pola Pengetahuan Menenun, dibutuhkan dalam memilih berbagai macam corak hingga membentuk suatu kesatuan makna dalam sebuah sarung sutera.
Keterampilan Menenun, dibutuhkan dalam merangkai dan menciptakan sebuah produk tenunan.
Kedua hal ini menjadi hal yang mendasar dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Selain itu, tenun Bugis Wajo ini bisa menjadi ruang ekspresif, estetik, imajinatif dalam mengomunikasikan gagasan simbolik. Yang berarti suara, sosok, warna, dan lain-lain ini bisa menjadi sumber acuan simbol corak yang konvensional
Penulis: Asiah Al Alimah
Penerbit: Ahmad Rafli Hamdani
Belum ada Komentar untuk "Kajian Kebudayaan "Balo Lippa Sabbe: Menyulam Kejujuran dalam Harmoni Budaya""
Posting Komentar